Monday, May 30, 2011

Ringkasan Pelajaran Naek Gunung

1. Pelajaran pertama untuk pendaki pemula:jika senior atau pemandu anda mengatakan "sedkiti lagi (sampai pos/puncak) maka 90% itu adalah dusta..

2. Pelajaran kedua: Jika anda menjumpai pendaki turun dan mengatakan puncak atau pos berikutnya masih jauh maka dia adalah pendaki pemula seperti anda.

3. Pelajaran ketiga: Jika sebelum naek anda sempat memesan nasi goreng di warung Mang Idi dan tidak anda habiskan, di perjalanan sisa makanan itu akan terbayang jelas dan anda benar2 menyesalinya..

4. Pelajaran keempat: Bagi pendaki menemukan jalan landai saat naik rasanya seperti mengayuh becak di jalan menurun..

5. Pelajaran kelima: Jika di jalur naek ada jalan menurun bersiaplah untuk tanjakan yg terjal setelahnya..

6. Pelajaran keenam: Karena rasa senasib seperjuangan semua orang tiba2 menjadi saudara di gunung

7. Pelajaran ketujuh: Jika anda ketemu pendaki bule dia hanya akan mengatakan satu kata "hi" (baca "hai")..udah

8. Pelajaran kedelapan: Jika anda ingin menyelundupkan edelweis, bawalah termos kecil

9. Pelajaran kesembilan: 90% kegunaan kompas adalah untuk mencari arah qiblat..

10. Pelajaran kesepuluh: Jangan berpikir uang tidak banyak membantu di gunung, jika Allah menghendaki anda akan bertemu penjual uduk di puncak, lalu berdoa dimasa mendatang ada lapak nasi padang

11. Pelajaran kesebelas: Berbeda dengan himbauan pemerintah di terminal dan pelabuhan untuk tdk menerima makan dan minum dr org tak dikenal, di gunung terimalah makanan/minuman dr siapa sj, dlm keadaan terpaksa bahkan boleh meminta..

12. Pelajaran keduabelas: Ketika sampai puncak gunung berdoalah karena bagaimanapun puncak gunung lebih dekat dengan langit

13. Pelajaran ketigabelas: Jika anda bertemu pendaki yang wangi, bajunya rapi dan aksesoris gunungnya mahal2 berarti di bawah ada sopir sedang minum kopi

14. Pelajaran keempatbelas: Tak kan lari puncak dikejar, kalau ga jodoh akan lari ke Boyolali (lah kesitu lagi)

15. Pelajaran kelimabelas: Seperti masa lalu yg buruk atau kemacetan kota Jakarta kita tidak bisa mengendalikan cuaca di gunung, berdamailah

16. Pelajaran keenambelas: Kadang hobi naek gunung serasa membuang waktu tp hobi memancing lebih aneh lagi, tiap dapat ikan dilepas lagi, saya rasa itu adalah kedzaliman yang nyata..

17. Pelajaran ketujuhbelas: Sekiranya Andrea Hirata suka naek gunung bisa jadi setiap nama gunung akan menjadi 1 judul novel

18. Pelajaran kedelapanbelas: Menaklukkan gunung itu berat tp menaklukkan hati wanita lebih berat lagi #mulai gombal

19.Pelajaran kesembilanbelas: Menaklukkan gunung itu mahal tp menaklukkan hati mertua lebih mahal lagi 
#itupun harus lulus pelajaran 18 dl

20.Pelajaran keduapuluh: Hidup ini seperti naek gunung, kalau sudah sampai puncak tak ada jalan lain kecuali turun..

21.Pelajaran keduapuluh satu: Ketika turun dari puncak seorang pendaki menyadari ada puncak lain yang lebih tinggi menunggu untuk didaki 
#sambungan pelajaran 20

22. Pelajaran keduapuluh dua: Hidup ini seperti naek gunung, semakin tinggi puncak yang akan didaki maka jalannya semakin panjang, terjal dan berliku, berbekallah yang banyak..

23.Pelajaran keduapuluh tiga: "Yuda naek gunung karena skripsinya selesai, lu naek karena apa?" *Nemenin Yuda :D 
#Tamat


Wednesday, April 27, 2011

Duduk perkara Solo, Surakarta, Kartasura dan (Salatiga)

Jika anda mendengar kata (atau kota) "Solo" apa yang muncul dibenak anda?
a. Bengawan Solo (Lagu Gesang)
b. Batik Solo (Pasar Kliwon)
c. Salatiga(bacanya Solotigo)
d. Solopos (Koran Lokal)
e. Nasi Liwet (enak sumpah)
f. Stasiun Solobalapan (Didi Kempot)
g. Surakarta (UMS, hmm agak pribadi yang ini)
h. Keris (hohoho)
i. Wayang kulit
 
Apapun jawaban anda tidak penting bagi saya (nah lo) dan kalau mau anda juga bisa menambah sendiri dengan solo karir, solo album atau solo organ..hehe..Saya sendiri setiap mendengar kata Solo teringat pada dua hal yaitu Didi Kempot dan RELA (brand bus jurusan Purwodadi-Solo).

Kembali ke duduk perkara, tulisan ini tidak lain dan tidak bukan saya buat untuk menjawab segala kebingungan yang ternyata jamak dialami orang2 (terutama dari luar Jateng) ketika mendengar nama kota Solo. Yang bener Solo apa Surakarta sih? Lha Salatiga itu apanya Solo? Yang paling parah barangkali salah mengingat Surakarta atau Kartasura..

Oke bro (sist juga) mari kita bedah (rumah kali dibedah) perkara ini sehingga duduk perkara menjadi terang benderang dan ga bingung apalagi nyasar.. dengan ini saya nyatakan sidang dibuka untuk umum tok tok tok...

Ingin sekali saya membahas dengan begini "Sejarah kota Solo bermula saat Raja Paku Buwono II pada tahun 1745...dst" tapi saya rasa ga asyik dan ga enak serta ga gurih..sejarah banget.. Supaya bisa dinikmati dan enak dibaca untuk berbagai kalangan kita buat saja tulisan ini dengan menjawab point2 pertanyaan... Setuju?

1. Sebenarnya Solo apa Surakarta?

    Solo ataupun Surakarta sama-sama benar (tambah pusing kan). Ya dah deh gini lho.. Secara administratif yang bener adalah Kotamadya Surakarta, Kodya Surakarta membawahi 5 buah kecamatan yakni Banjarsari, Jebres, Laweyan, Pasar Kliwon, dan Serengan kemudian ada total 51 desa di dalamnya. Surakarta sebenarnya dulu adalah nama sebuah Karesidenan yaitu sebuah pembagian wilayah administratif yang dipakai pemerintah Hindia Belanda dan Indonesia sampai tahun 1950. Satu Karesidenan terdiri dari beberapa kabupaten yang dipimpin oleh seorang residen. Karesidenan Surakarta sendiri terdiri dari kabupaten Karang Anyar, Wonogiri, Sragen, Boyolali, Sukoharjo, Klaten dan Surakarta sendiri.  Jaman sekarang gampang banget menentukan suatu kabupaten/kota itu dulunya 1 karesidenan mana, yaitu lihat saja plat kendaraanya. Semua bekas karesidenan Surakarta berplat AD. Terus Solo dimana? sampai disini saya juga agak bingung sebenarnya (piye iki?)..Kalau anda berada di Surakarta kemudian nanya ke seseorang "Pak kalau mau ke Solo arah mana ya?" Orang yang anda tanya apakah dia pribumi atau pendatang kemungkinan akan menjawab sama "Solo mana ya Dik, ya ini Solo, adik di Solo ini" (Lalu anda mengangguk2 pura-pura paham atau malah kelihatan blo'on, terserah deh..hehe..)

Jadi penyebutan Surakarta lebih tepat untuk hal-hal yang bersifat Administratif atau Formal. Alasannya secara formal adanya Kodya Surakarta dan Eks-Karesidenan Surakarta ...bukan Eks-Karesidenan Solo. Terus untuk penyebutan Solo, mungkin lebih ke hal-hal yang sifatnya praktis dan bernuansa 'heritage'. Misal Solo Batik Carnival (SBC), Solo International Etnich Music (SIEM). Terus menyebut diri sebagai orang Solo juga dulunya sebagai identitas untuk membedakan dengan orang Jogja maupun Semarang.

Jadi bicara Solo sebagai wilayah geografis sudah susah ditemukan..Yang masih adalah Solo sebagai identitas pribadi dan suatu wilayah budaya. Jadi kalau anda punya teman meski di KTPnya tertulis Surakarta dia akan bilang "saya dari Solo mas"...

Namun perlu juga saya uraikan sedikit Sejarah. Pada mulanya Solo adalah nama desa di tepi sungai Bengawan Solo. Di desa inilah Raja Paku Buwono II memindahkan ibukota kerajaan Mataram setelah hancur oleh pemberontakan etnis Tionghoa pada tahun 1745. Dari sini kelak muncul istilah Surakarta (pada waktu itu disebut Salakarta; Ann Kumar, 1980).. Namun dari 51 desa di Kodya Surakarta saat ini tak ada satupun yang bernama desa Solo.

2. Lha Salatiga itu apanya Solo?

Salatiga bukan anak atau cucunya Solo. Keduanya beda banget, dikatakan mirip juga ga. Boleh dibilang mereka adalah tetangga yang akur, ga pernah berantem..hehe becanda...

Salatiga dan Solo jelas beda. Biasanya hanya orang yang benar2 dari luar Jateng dan luar Jawa yang agak bingung dengan ini. Atau semacam kebingungan asosiasi antara Solo dan Sala. Itupun karena patut diduga yang bersangkutan tidak menyimak pelajaran Geografi dengan baik atau dengan sengaja dan melawan hukum tidur di kelas waktu pelajaran. Salatiga adalah salah satu Kotamadya di Jawa Tengah. Sebagai gambaran jika anda pergi naek bis dari Solo ke Semarang anda akan melewati Salatiga. Secara arah Salatiga terletak di sebelah barat laut Solo. 

3. Bagaimana dengan Surakarta dan Kartasura.

Ini juga mirip kasus diatas. Bingung disini mirip dengan kebingungan begini "busines itu yang dobel s di tengah apa di belakang?" atau juga begini "tomorrow itu yang dobel m atau r ya?" Hayo ngaku suka lupa kan? Kartasura adalah bagian dari kota satelit (apa pula ini?) Surakarta. Kota satelit gampangnya adalah kota Penyangga, semacam megapolitan Jabodetabek. Surakarta dan kota-kota satelitnya (Kartasura, Solo Baru, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak) adalah kawasan yang saling berintegrasi satu sama lain.Perlu dicatat disini kota satelit itu bukan bagian wilayah secara administratif. Kota Kartasura misalnya secara administratif adalah bagian dari kabupaten Sukoharjo.

Secara geografis Kartasura berada di barat daya Surakarta. Kalau anda naek bis dari Jogja ke Solo anda akan melewati kota Kartasura sebelum sampai Solo.

Semoga uraian diatas menambah wawasan anda. Boleh disimpulkan Solo dan Surakarta itu seperti 2 muka dalam 1 koin. Solo dan Salatiga ibarat 2 koin. Surakarta dan Kartasura bagai 2 koin juga. Total 5 koin. hahaha

Diolah dari berbagai sumber.. Boleh dikoreksi kalau ada yang salah.

Grobogan Dimana Ya? Untirta?

Tahukah Anda?

Melekat pada 2 hal yang tidak populer, tidak terkenal dan tidak keren memang makan hati kadang. Di awal kuliah dulu  setiap perkenalan dan saya bilang saya dari Grobogan, spontan dahi kawan-kawanku mengkerut sambil balik tanya "Grobogan itu dimana? Jawa Timur bukan?"...dll... Dan entah berapa banyak saya berkenalan sebanyak itu pula saya mempromosikan GROBOGAN..sedikit sekali yang sudah tahu dimana GROBOGAN itu tepatnya. Itu yang pertama. Yang kedua (boleh dibilang lebih pahit) yaitu saat bertemu teman-teman di kampung lantas bertanya "Emm Untirta? Dimana ya? Negeri bukan?"..dll...


Supaya lebih jelas begini ceritanya:

1. Sebelum masuk Untirta

Setelah lulus SMA seperti kebanyakan orang saya mengikuti SPMB (nama waktu itu), Ujian masuk STAN dan UM UGM..Semuanya tidak ada yang lolos. Saya kemudian putuskan untuk nganggur dulu, tidak masuk swasta seperti kebanyakan orang. Selama menganggur setahun saya 6 bulan ikut sepupu saya membuat tempe kripik, dimana pada bulan-bulan pertama jari kiri saya sering teriris. Empat bulan berikutnya saya dirumah mengasuh dua adik lelaki (umur 4 dan 2 tahun). Saya benar-benar menggantikan peran ibu setiap pagi selama 4 bulan itu. Saya bahkan masih ingat urutannya, bakda subuh, membuat api di dapur (pakai kayu), mencuci beras lalu menanaknya, menunggu nasi masak sambil mencuci piring, menyapu lantai, bersihin kandang kambing, bangunin 2 adik yang gede (untuk sekolah), bikin lauk, rendam baju kotor, bangunin 2 adik kecil, mandiin mereka, handukin, minyak kayu putih, bedakin, ganti baju, nyuapin, suruh mereka main, nyuci baju. Begitulah.. Kemana ibu saya? ke pasar. 4 bulan yang waktu itu saya rasa paling berat sekarang saya rasa menjadi bagian paling indah dalam hidup saya..Paling berat karena saya tidak punya gambaran yang pasti untuk masa depan, satu-satunya yang saya lakukan untuk masa depan saat itu hanyalah berlatih menyelesaikan soal2 SPMB (saya menyelesaikan lebih dari seribu soal Fisika. Paling indah karena 4 bulan itulah momen kedekatan saya dengan adik2 saya dan menjadi saat saya merasa berarti buat mereka dan keluarga. Karena pada fasa-fasa berikutnya saya lebih banyak merepotkan dan membuat susah.



2. Menjelang masuk Untirta

Saya minta ijin ibu saya untuk masuk bimbingan belajar. Sebenarnya sudah telat karena bimbingan intensif SPMB sudah dimulai dimana-mana. Saya masuk bimbel Nurul Ilmi. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan pada masa ini. Yang jelas saya tidak lagi di rumah. Saya kost di Purwodadi.


3. Masuk Untirta

Saya tahu Untirta dari mas Edi  yang saat itu ditugaskan di Labuan Pandeglang. Saya ikut ujian SPMB di Semarang dan ikut yang IPC. Teknik Industri adalah pilihan pertama saya, dan diterima. Saat membaca koran bahwa diterima saya bingung sendiri. Tidak lain adalah bingung mencari berkas apa saja yang harus saya bawa untuk registrasi. Ga lucu kan kalau ada yang lupa atau ga lengkap setelah jauh2 datang. Saya akses situsnya (waktu itu www.untirta.net)ga ada keterangan dan situsnya itu jelek banget, informasinya basi semua. Saya telepon pada jam kerja ga nyambung. Saya kirim faks ga tahu sampai apa ga. Akhirnya saya memilih jalan saya sendiri. Saya mengumpulkan berkas2 yang dibutuhkan sama dengan kampus2 lokal Jateng. Disinilah uniknya. Salah satu berkas yang saya bawa adalah SKCK. Ketika registrasi di Untirta ternyata ga ada syarat SKCK. Tapi saya serahkan SKCK saya. Keesokan harinya ada pengumuman tambahan harus melampirkan SKCK.. Haha banyak yang balik ke kampung mengurusnya..


4. Groby

Di Untirta ini kemudian saya mendapat gelar baru. GROBY.. Saya sudah tak ingat siapa memulai gelar itu. Yang jelas itu terkait dengan asal saya yang tidak populer GROBOGAN. Bahkan ketika ada mahasiswa baru bernama Ahmad Zainudin (Teknik Mesin '06) dari GROBOGAN juga mendapat gelar yang sama. Groby.. Groby ini bahkan lebih pouler dari nama asli saya atau Zein.


5. Menjelang lulus

Malas ah


6. Grobogan dimana?

Langsung saja deh..situs Pemda klik disni.. Sejarah, geografis dll klik disini


Gitu aja deh... ga penting? yo ben..

Gedean Mana?


Ini bulan keempat saya menjadi pembina sebuah Panti Asuhan milik sebuah Yayasan yang dimiliki oleh para Istri Direktur PT.Krakatau Steel dan anak perusahaanya. Panti ini berdiri sejak tahun 1987 dan diresmikan oleh Dirut KS saat itu yaitu Ir.Tungki Ariwibowo. Bagi yang masih SD jaman orde baru pasti ga asing dengan nama tersebut karena beliau pernah menjabat Menteri Perindustrian. Jadi inget jaman SD, UUD '45, Pancasila, Lagu-lagu kebangsaan dan nama-nama menteri harus dihapal gan.. Untung sebagaimana Presidennya para menteri pun jarang diganti sehingga kita ga perlu muroja'ah nama menteri tiap 5 tahun.. :) Diantara yang paling saya ingat selain Pak Tungki adalah Harmoko, Menteri Penerangan yang ga  tergantikan. Kalau sekarang istilahnya Menkominfo kali ya.

Saat menerima pekerjaan ini saya tidak terpikir bahwa mendidik anak-anak Yatim alangkah sulitnya. Benar-benar mengasah rasa empati, kelembutan, kesabaran, konsistensi, keteladanan, menjadi orang tua, menjadi kakak dan menjadi guru sekaligus. Malam pertama disini saya masih ingat betul. Pagi jam empat saya bangun lalu membangunkan anak-anak yang berjumlah 20 satu persatu. Lalu saya tinggal sholat malam di aula. Saya mendengar suara kran-kran mengalirkan air, suara pintu kamar mandi ditutup, suara anak bergegas ke kamar mandi, suara percakapan. Saya senang ternyata mereka terbiasa bangun pagi. Namun ternyata saya terlalu berprasangka baik. Perlahan-lahan suasana kembali sunyi. Bahkan tak ada suara lagi. Iya benar, mereka bangun cuma untuk menuntaskan hajat masing-masing. Ya Allah tolong.Hanya 1 anak yang nyusul sholat malam sama saya. Kebetulan saat itu waktu subuhnya jam 04.45 WIB jadi bangun jam 4 cukup untuk sholat malam 4 atau 6 rekaat. Akhirnya pada adzan subuh saya bangunkan kembali anak-anak satu persatu.

Hari-hari berikutnya saya melakukan rutinitas yang sama. Membangunkan mereka satu persatu. Beberapa menyusul sholat malam beberapa kembali menyambung mimpi. Sabar Ya Allah.

Lama-kelamaan saya mulai berpikir bahwa ada yang salah dengan cara ini. Jika begini terus caranya mereka akan terbiasa dibangunkan dan bangun pagi tidak akan menjadi naluri alamiah mereka. Seumur hidup (atau setidaknya seumur di Panti) mereka tidak akan bisa bangun sendiri, atas kesadaran sendiri. Maka pada hari selanjutnya tiap malam saat saya membuat halaqoh kecil untuk mereka bakda maghrib saya menjelaskan bahwa mulai besok saya tidak akan membangunkan mereka lagi. Saya mengajak mereka menanamkan dalam benak mereka "besok saya akan bangun" bukan "besok saya dibangunkan". Saya buat mereka mengulang-ulang kata itu "besok saya bangun, besok saya bangun". Alhamdulillah hal sederhana itu membuat mereka bangun tanpa dibangunkan sampai saat saya menulis ini. Kini saya cuma perlu mencet bel 2 kali, pertama bel untuk mengajak sholat malam dan bel kedua menunjukkan waktu subuh 15 menit lagi. Subhanallah beberapa anak sudah terbiasa sholat malam. 

Tapi tulisan saya kali ini bukan soal itu. Nah lo. Suka duka menjadi pembina Panti akan menjadi rangkain cerita sendiri. Kadang menggelikan, mengharukan, menyedihkan, ironi dan tak sedikit yang membuat saya menitikkan air mata. Akan saya tulis sedikit demi sedikit di waktu senggang nanti. Tulisan ini justru tentang sesuatu yang menggelitik iman perjuangan saya. Selama empat bulan saya disini setiap beberapa hari (seingat saya seminggu minimal 3 kali) ada saja dermawan datang menyumbang Panti dengan macam bentuk. Dari yang berupa uang, beras, minyak goreng, mie instan (sudahlah kita sebut saja sembako) sampai yang berupa nasi kotak siap santap atau bahkan makanan restoran cepat saji yang dikirim dengan delivery order. Yang ngasih duit ada dua cara, pertama ngasih ke Panti dan tercatat di buku tamu, namun ada pula yang langsung ke anak-anaknya dalam amplop tertutup. Isinya mulai dari Rp.50.000 sampai Rp.200.000. Itu per anak lho. Tiba-tiba semua itu membuat saya iri. Mereka bisa bersedekah sedemikian besarnya kepada anak-anak yatim sementara saya bertugas membina anak-anak yatim yang didalam prosesnya adakala marah adakala jewer atau bahkan yang diancam dalam Al Quran yaitu menghardik. Ampuni saya Ya Allah.
Maka suatu hari saya sms ke seorang temen:
"Gedean mana ya pahala pembina panti dibandingin donatur? iri euy"

Sungguh saya berharap mendapat jawaban yang bisa menggembirakan atau membesarkan hati saya yang termakan iri ga pakai dengki ini :). Tapi seperti yang anda duga teman saya cuma membalas begini:

“Gedean pahala pembina yang suka bagi-bagi duit dan nraktir makan anak sepanti”

Ya Allah tolong
 

Monday, April 25, 2011

Saya Bukan Gue


Blog baru saya ini saya dedikasikan untuk menampung ide-ide dan tulisan-tulisan saya sendiri. Sebelumnya saya sudah punya 3 blog tapi berisi campuran antara tulisan original saya sendiri dan tulisan yang hanya saya copy-paste atau saya terjemahkan dari blog berbahasa Inggris. Blog itu adalah Tahukah Anda?, Backpacker Indonesia dan Bisnis Indonesia.

Pertama saya memilih nama blog dan terpilihlah groby04 setelah mencoba dengan nama iwan, nawi, dan groby semua sudah not availability alias ga tersedia. Kebayanglah di Indonesia ini nama Iwan ada berapa sehingga nama saya yang memang cuma Iwan ini domainnya sudah diserobot orang. Tapi saya lumayan jengkel setelah tahu blog dengan alamat www.iwan.blogspot.com judulnya cuma "test" dan isinya pun cuma 1 posting abal-abal ga jelas... hhhhhhhhhhhhaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh #narik nafas panjang gan. Kemudian saya coba dengan mengeja nama saya terbalik yaitu nawi ternyata juga sudah dipakai orang. Silakan cek blog www.nawi.blogspot.com sepertinya milik orang Italia. Kemudian saya coba groby ternyata juga sudah ga tersedia, sudah dipakai orang. Tapi groby ini sama seperti iwan cuma diambil namanya sementara isinya masih kosong. Silakan liat sendiri www.groby.blogspot.com. Akhirnya saya memakai groby04 dimana groby adalah panggilan saya di kampus karena berasal dari Grobogan sementara 04 menunjukkan angkatan atau tahun kuliah. :)

Kedua yang saya pikirkan adalah apa kata ganti yang akan saya pakai untuk orang pertama alias penulis alias saya sendiri. Terus terang saya semangat nulis ini sedikit banyak terinspirasi blog  www.shitlicious.com. Selain isinya gokil (kalau tidak ingin dibilang gila) nasib penulisnya sama dengan saya yaitu sedang menjadi mahasiswa semester puncak menjelang DO :-(. Saya paling suka bagian dimana dia menulis tiap ada yang bertanya "kapan lulus?" atau "skripsi sampai mana?" rasanya ingin menyulut kompor dan nyeduh baygon cair. hahaha.. Di blog tersebut penulisnya yang asli Sragen dan tinggal di Jogja memakai kata ganti gue atau gw. Jujur saja sebagai orang Jawa saya geli sendiri membacanya. Mungkin memang baik dan menjadi mudah diterima siapa saja pembacanya. Sayapun terpikir menggunakan kata ganti itu, toh siapapun yang membaca hanya akan membaca bukan mendengar saya mengucapkan kata ganti itu. Saya timbang-timbang ternyata ga nyaman. Walaupun cuma bahasa tulis saya tidak comfort memakai kata ganti itu, selain karena di kenyataan saya tidak pernah memakai kata ganti itu saya juga ingin menjadi saya apa adanya. Walaupun cuma tulisan saya merasa berbohong jika menulis "gw" sementara kenyataannya kata itu sungguh menggelikan dan tak pernah saya pakai dalam bicara sehari-hari. 

Maka selamat menikmati blog saya ini. Inilah saya. Saya bukan Gue.



Gara-Gara Ketapel

Cerita ini sudah cukup lama berlalu. Saya sudah lupa tepatnya kapan. Saat itu saya lagi dirumah (rumah saya berjarak 600 km lebih dari tempat saya tinggal saat ini, saat saya membuat tulisan ini). Dirumah sedang ada tukang kayu yang lagi benerin dinding. Rumah saya di desa dan dindingnya dari papan. Tiba-tiba adik saya yang bungsu menghampiri, merengek-rengek dan heboh minta dibikinin Plintheng (bahasa Indonesianya: ketapel). Ya Plintheng atau ketapel adalah senjata pelontar yang mungkin sudah berusia ribuan tahun namun tetap eksis sampai sekarang. Bahkan anak-anak dan remaja Palestina masih menggunakan senjata sederhana ini melawan tank-tank tempur Israel yang canggih. Saya berpikir jangan-jangan adik saya minta ketapel karena terinspirasi film-film intifadha yang saya kasih lihat. Subhanallah adik saya ingin menjadi mujahid. Itu cuma khayalan saya karena sebenarnya dia pengen ketapel buat mlintheng (saya ga ketemu kosakata yang tepat dalam bahasa Indonesia) burung. Bagi yang belum tahu ketapel ini lho
Demi cinta saya padanya sayapun menyanggupi membuatkan ketapel itu. Yang pertama adalah mencari kayu sebagai bahan utama dari senjata ini. Ada dua pilihan yaitu mencari dahan pohon yang secara alami berbentuk huruf Y atau memahat/memotong kayu batangan menjadi seperti huruf Y. Saya menyebutnya ketapel alami dan ketapel buatan #ngasal. Dan karena sudah niat sejak lama adik saya bilang dia sudah ndedeki (baca:ngetake atau ngetag) sebuah dahan di pohon deket kali untuk dijadikan ketapel. Sayapun diajak memeriksa dahan yang dia yakini cocok buat ketapel itu. Entah kenapa dalam perjalanan ke lokasi saya sudah geli sendiri, saya senyum-senyum sendiri. Saya merasa dejavu karena rasanya waktu kecil saya pernah melakukan hal yang sama, merengek minta dibikinin ketapel sama Bapak, ngajak Bapak ke sebuah pohon yang saya yakini salah satu dahannya cocok buat ketapel tapi hasilnya sampai TKP Bapak saya tertawa ngakak. Kali inipun begitu, tepat seperti dugaan saya, kayu yang ditag adik saya itu sama sekali jauh dari bentuk huruf Y, bentuknya lebih mirip huruf L itupun secara ukuran dahannya ga seimbang, salah 1nya kecil. Saya ngakak guling-guling #lebay.


Kami pulang kembali ke rumah. Kebetulan ada tukang kayu maka ada peralatan lengkap untuk memotong dan mendesain sebuah ketapel. Saya akhirnya memilih kayu batangan yang bagus dan saya potong sedemikian rupa menjjadi balon (bakal calon) ketapel. Tak memakan waktu lama kayu balon ketapel itu jadilah. Maka kita sampai pada kebutuhan selanjutnya untuk sebuah ketapel yaitu karet pelontar. Ada dua pilihan juga dalam hal ini. Untuk orang dewasa biasanya karet pelontar dibikin dari potongan ban dalam bekas, tentu saja dengan karet pelontar jenis ini anak kecil ga sanggup menariknya. Untuk anak kecil kita biasa memakai karet yang dipakai untuk katup ban sepeda model lama yang populer kami sebut pentil #hati-hati bacanya gan. Ternyata karena memang sudah niat adik saya sudah menyiapakan 4 pentil #sekali lagi bacanya gan tolong.. Jadi 2 pentil untuk masing-masing sisi. Selesai memasang  pentil kita butuh perangkat terakhir yaitu sebuah kelep untuk menahan peluru sebelum dilontar. Dalam hal ini adik sayapun ternyata sudah menyiapkannya. Kali ini dia membuat saya ngakak lagi. Yang dia siapkan cuma sesobek kain bekas yang ditarik dikit saja akan mbrodol (baca:terburai). Padahal yang kita butuhkan adalah kelep berbahan dari kulit sintetis atau kulit beneran biar kuat dan tahan lama. Akirnya bapak saya memotong salah satu sisi sepatu bekas dan ketapel itu maka jadilah. Senang rasanya.


Saat itu adik saya sumringah bukan main. Dia memang tipikal gigih dan suka sesuatu yang baru. Buktinya untuk ketapel inipun dia sudah menyiapkan segalanya meski akhirnya yang terpakai cuma pentilnya. Di kemudian hari dia juga minta dibikinin layangan (akan saya buat cerita sendiri nanti). Seperti halnya anak kecil benda baru bernama ketapel itu benar-benar menggairahkannya. Diapun pamit dolan untuk mencari burung. Padahal sebenarnya mau mamerin ketapel barunya itu ke kawan-kawan sebayanya.  :)


Dua hari berikutnya adik saya benar-benar  menikmati kesenangan dengan ketapelnya itu. Begitu pulang sekolah langsung raib entah kemana. Nti agak sore baru pulang dengan rambut kering dan tubuh dekil sisa kebakar matahari. Mungkin dia memang mencari burung di pekarangan atau di ladang atau bahkan ke hutan.
Pada hari ketiga tiba-tiba adik saya sakit, badannya demam dan matanya sayu. Saya benar-benar sedih melihatnya, apalagi ibu. Bapak berpesan agar sorenya saya membawa ke dokter. Karena dasarnya hiperaktif saat sakitpun adik saya tidak banyak mengeluh atau manja. Dia cenderung diam namun suka diajak ngobrol. Terjadilah percakapan saya dengan dia yang kira-kira dalam bahasa Indonesia jadi begini:
"Kamu kemarin ngetapel sapinya kang Sarpiyo kali makanya sakit" ngetapel=mlintheng.. nah lo
"Engga..." Wajahnya agak terkejut
"Halah ngaku aja kamu ngetapel sapinya kang Sarpiyo kan"
"Engga kok"
"Beneran engga? jangan bohong sama mas!"
"Orang ga kena kok"
"Huahahahahahahahaha" saya ketawa ngakak denger jawabannya itu. Jadi bukan "engga ngetapel" tapi "engga kena"
Niat saya menggoda malah dapat pengakuan yang sebenarnya. Padahal tuduhan itu juga cuma saya buat-buat. Kang Sarpiyo adalah tetangga depan rumah saya yang saat itu memiliki 2 sapi. Sejak hari itu adik saya jarang sekali maen-maen ketapel lagi. 

Tersesat Di Jalan Yang Benar


Suatu hari ibu dari adik tingkat saya meninggal dunia. Maka kami pagi itu berangkat ke Bogor untuk bertakziyah. Kami membawa mobil salah satu anak Himpunan dan bertindak sebagai sopir adalah sang ketua Himpunan yang kebetulan adalah teman 1 kosan saya. Saya duduk disamping sopir.
Saya ditunjuk sebagai penunjuk Jalan karena saya satu-satunya yang pernah ke rumah korban (eh yang berduka maksudnya) pada tahun sebelumnya saat survey lokasi untuk Camp Pengkaderan Himpunan di Gunung Bunder. Maka dengan Pedenya sekeluar pintu tol Bogor saya menunjuk untuk lurus, belok, muter dan sebagainya. Lama-lama saya mulai ga PeDe dan merasa kami telah salah arah. Saya tetep bersikap cool agar semua tidak menggerutu atau panik. Namun kebohongan tidak bisa disimpan lama-lama. Khawatir semakin parah sayapun berterus terang mulai ragu dengan jalan yang sedang kami tempuh. :).. Seperti bisa diduga semuanya spontan "huuuuuuu gimana c guide kita nih" tentu saja dalam suasana canda. Namun sedikit banyak mungkin kesel juga mereka. 
Akhirnya kami putuskan menepi dan bertanya ke seorang tukang tambal ban. Kami jelaskan alamat tujuan kami dan tukang ban tersebut berdiri memberi arahan dengan jari telunjuknya agar kami lurus dan belok kanan begitu menemukan pertigaan nanti. Tak disangka dalam 10 atau 15 menit dari tempat tukang tambal ban tadi kami sampai di TKP.
Setelah parkir kami jalan kaki sekira 100 meter ke rumah duka. Saya dan kawan-kawan langsung ambil wudhu dan mensholatkan jenazah. Kami lalu duduk sebentar dengan tamu lain dan sedikit ngobrol dengan adik tingkat saya itu. Kami tidak berlama-lama mungkin total kami 1 jam disana kamipun lantas pamit pulang.
Dalam perjalanan pulang teman-teman masih mempermasalahkan (baca:meledek) saya yang dianggap membuat kami tersesat. "Huuu katanya tahu" dan kalimat yang intinya begitu. Saya membela diri bahwa kita bukan tersesat. Kita cuma menempuh jalan yang berbeda dengan waktu saya kesitu. Tapi itu kan bukan berarti tersesat. Menurutku yang terjadi adalah kami menemukan jalan lain yang bisa jadi malah lebih pendek dari waktu saya kesitu dulu. Karena kalah suara saya menutup debat dengan pernyataan "kalaupun ini mau dibilang tersesat kita tersesat di jalan yang benar"
:)
Semoga ada hikmahnya.